Hidup bahagia bukan berarti tanpa kesedihan. Penelitian menunjukkan kebahagiaan sejati lahir ketika kita mampu menerima ketidakbahagiaan sebagai bagian alami kehidupan manusia.
“Happiness is not a destination, but a state of mind,” tulis Brand Klontz, Charles Chaffin, dan Ted Klontz dalam Psychology of Financial Planning.
Dr Joe Dispenza menegaskan, dunia luar hanyalah refleksi kondisi batin. Saat kita mengolah pikiran dan perasaan, otomatis realitas kehidupan perlahan ikut berubah.
Melalui meditasi, tubuh menciptakan jalur saraf baru yang memperbaiki diri. Itulah cara sederhana membebaskan energi positif untuk menyembuhkan luka batin dan mental.
Dr Gabor Maté menyebut ketakutan berakar pada luka terdalam manusia. Hanya dengan keberanian menghadapi trauma, kita bisa keluar dari jerat masa lalu.
Joe Dispenza menambahkan, melepas rasa bersalah, takut, frustrasi, hingga rendah diri, adalah langkah penting untuk membebaskan energi yang terpenjara.
Skill underrated yang perlu ditumbuhkan adalah kemampuan bahagia tanpa syarat. Cukup rawat persahabatan tulus, ungkapkan perasaan, dan belajar asertif sejak dini.
Energi terbaik juga seharusnya diberikan kepada pasangan dan anak. Sayangnya, banyak orang lebih sibuk mengejar validasi sosial daripada memelihara cinta terdekat.
Menjalani hidup otentik berarti berani mengakui kerinduan terdalam tanpa harus mencari persetujuan. Inilah keberanian yang membuat hidup terasa sungguh berarti.
Bronnie Ware, perawat pasien kritis, menulis buku tentang penyesalan terbesar menjelang ajal. Banyak orang menyesal tidak menjalani hidup sesuai hati.
Thich Nhat Hanh mengingatkan, banyak manusia hidup seperti mayat berjalan, terjebak masa lalu, takut masa depan, dan lupa hadir dalam momen sekarang.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar