Menjadi seorang manajer sering kali disamakan dengan kapten kapal yang berlayar tanpa peta lengkap. Banyak wilayah baru, masalah rumit, serta target ambisius harus ditaklukkan, meski tidak selalu punya jawaban instan.
Tuntutan agar selalu terlihat paling tahu justru membuat banyak manajer terjebak dalam peran "si paling pintar". Padahal, mustahil bagi seorang pemimpin memahami semua detail teknis atau menyelesaikan segala masalah sendirian.
Fasilitator Harvard Business Publishing, Carole-Ann Penney, menegaskan bahwa memimpin bukan berarti serba tahu. Intinya adalah hadir, mendampingi tim, serta berani melangkah maju meski belum memegang seluruh jawabannya.
Fakta menarik, penelitian membuktikan manajer yang jujur mengaku “belum tahu” justru lebih dihormati tim. Kejujuran itu menumbuhkan budaya terbuka, sehingga anggota tim lebih percaya diri menyampaikan ide maupun keraguan.
Pesan tersiratnya sederhana: tidak apa-apa belum menguasai sesuatu, selama ada niat mencari solusi bersama. Dengan begitu, suasana kerja jadi lebih sehat, kolaboratif, dan penuh rasa saling percaya.
Namun, sikap ini bukan berarti memberi ruang untuk “planga-plongo”. Manajer tetap wajib menunjukkan kemampuan mencari jawaban, misalnya memberi tenggat waktu untuk riset atau mengajak tim diskusi lebih lanjut.
Contoh sederhana, ketika menemui persoalan data yang rumit, manajer bisa merujuk ke tim analis. Hal itu menunjukkan kepemimpinan berbasis kolaborasi, bukan kelemahan. Inilah seni menjadi pemimpin yang bijak.
Profesor Wharton School, Adam Grant, menyebutnya sebagai confident humility: yakin dengan kemampuan diri, namun rendah hati mengakui keterbatasan. Tanpa keseimbangan itu, manajer bisa terjebak antara kesombongan atau kebimbangan.
Risikonya, manajer yang terlalu sering “tidak tahu” bisa merumuskan strategi mentah tanpa riset matang. Akibatnya, perencanaan rapuh dan berpotensi gagal saat dieksekusi, seperti orang buta menuntun sesamanya.
Karena itu, sebelum menguasai confident humility, seorang manajer wajib memperkuat keterampilan dasar kepemimpinan. Dengan fondasi kuat, pengakuan “tidak tahu” bukan tanda kelemahan, melainkan strategi cerdas membangun kepercayaan tim.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar