Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) bersama Trend Asia menggelar diskusi publik bertajuk “Reformasi Fiskal dan Keadilan Ekonomi dalam Menghadapi Ketimpangan” di Jakarta, Rabu (17/9/2025).
Acara menghadirkan pakar ekonomi dari INDEF, Imaduddin Abdullah, yang menyoroti tajam realitas ketimpangan di Indonesia. Ia menilai elit sering abai dengan memamerkan kekayaan.
Imaduddin menjelaskan, data ketimpangan masih menyimpan banyak keterbatasan. Misalnya, pengeluaran kelas menengah bawah sering kali tidak mencerminkan kondisi sebenarnya karena sebagian ditutup lewat utang.
Menurutnya, fenomena pinjaman online menjadi contoh nyata tekanan ekonomi kelas menengah bawah. Utang rumah tangga terus meningkat, sementara daya beli masyarakat stagnan.
Ia membandingkan kondisi Indonesia dengan Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Justru Indonesia mengalami tren peningkatan ketimpangan, terutama pasca-reformasi dan era booming komoditas 2008–2015.
Ketimpangan diperparah karena sektor ekstraktif lebih banyak menikmati nilai ekspor. Sementara, manfaatnya minim dirasakan kelompok masyarakat kecil atau pekerja berpendapatan rendah.
Data INDEF menunjukkan, 10 persen kelompok terkaya semakin menguasai porsi pendapatan nasional. Sebaliknya, 20 persen kelompok menengah bawah cenderung stagnan bahkan makin tertinggal.
Indikator lain juga mengkhawatirkan. Pertumbuhan upah riil yang sempat naik 5,5 persen pada 2015–2019, kini turun drastis menjadi hanya 0,8 persen.
Sementara itu, tingkat informalitas kerja justru meningkat. Banyak pekerja kehilangan pekerjaan formal dan terpaksa masuk ke sektor informal dengan perlindungan sosial yang minim.
Imaduddin menegaskan, deindustrialisasi menjadi salah satu faktor utama. Indonesia terlalu cepat beralih ke sektor jasa, berbeda dengan negara yang industrinya kuat.
Selain itu, ketergantungan ekspor pada komoditas seperti batu bara dan CPO membuat ekonomi rentan. Kondisi ini sangat berkorelasi dengan pelebaran ketimpangan sosial.
Ahmad Ashov Birry dari Trend Asia menambahkan, kapasitas fiskal Indonesia masih lemah. Pajak lebih banyak dibayar oleh kelas menengah bawah lewat PPN dan cukai konsumsi.
Subsidi pun dinilai salah sasaran. Justru kelompok menengah atas lebih banyak menikmati, sementara program perlindungan sosial hanya sekitar 1–1,5 persen PDB.
Ahmad menekankan, reformasi fiskal harus diarahkan lebih progresif. Pajak seharusnya menjadi instrumen untuk redistribusi, bukan memperlebar jurang ketimpangan.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar