Pernah bilang OTW padahal baru keluar rumah? Atau kerjakan laporan tengah malam sebelum deadline? Fenomena last minute ternyata bukan sekadar kebiasaan, melainkan sifat alami manusia.
Budaya menunda hingga batas akhir dikenal sebagai prokrastinasi. Meski sering dicap buruk, faktanya kebiasaan ini justru memiliki keterkaitan erat dengan motivasi manusia menghadapi tekanan waktu.
Menurut teori Temporal Motivation, dorongan menyelesaikan pekerjaan meningkat drastis ketika tenggat makin dekat. Semakin mepet waktunya, semakin kuat pula motivasi psikologis untuk bertindak.
Kondisi mendesak inilah yang sering memicu adrenalin. Banyak orang justru merasa ide mengalir deras ketika terdesak, sehingga kreativitas dan solusi inovatif muncul tanpa diduga sebelumnya.
Psikolog menilai prokrastinasi tidak selamanya buruk. Tekanan waktu dapat menjadi pemicu positif, melatih kemandirian, sekaligus meningkatkan rasa percaya diri ketika berhasil menuntaskan pekerjaan.
Namun, ada konsekuensi serius yang perlu diwaspadai. Hasil pekerjaan kerap tidak maksimal karena prioritas utama hanyalah menyelesaikan tugas tepat waktu, bukan menjaga kualitas terbaiknya.
Selain itu, stres dan kecemasan sering meningkat tajam. Tekanan waktu berulang dapat mengganggu kesehatan mental, menurunkan produktivitas, serta membuat seseorang mudah kelelahan secara emosional.
Reputasi pun berisiko tercoreng. Atasan, rekan kerja, atau dosen bisa memandang seseorang tidak profesional karena terbiasa menunda pekerjaan hingga benar-benar mendekati deadline akhir.
Faktor eksternal juga sangat berbahaya. Gangguan tak terduga seperti sakit mendadak atau kondisi darurat bisa merusak rencana, membuat pekerjaan gagal selesai tepat waktu.
Maka, budaya last minute sebaiknya dikelola bijak. Prokrastinasi bisa memberi manfaat kreatif, tetapi tetap menyimpan risiko besar yang dapat merusak produktivitas jangka panjang.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar