Duta Nusantara Merdeka | Jakarta - Tidak semua transaksi bisnis langsung bermasalah. Namun, ada beberapa pola transaksi yang bisa membuat petugas pajak menaruh perhatian lebih terhadap wajib pajak.
Pertama, pembayaran honorarium, sewa, atau jasa tanpa bukti potong PPh. Praktik ini hampir pasti memicu pertanyaan serius dari otoritas pajak yang menilai transparansi.
Kedua, omzet besar tetapi pajak terutang (PPh 29) sangat kecil. Kondisi ini biasanya menimbulkan kecurigaan soal kebenaran biaya yang dibukukan perusahaan.
Ketiga, penggunaan akun “lain-lain” dalam jumlah besar tanpa rincian jelas. Petugas pajak akan meminta penjelasan rinci mengenai komponen biaya yang tidak transparan.
Keempat, laporan keuangan tidak sinkron dengan laporan pajak, tanpa adanya ekualisasi. Perbedaan ini dapat mengundang "surat cinta" alias SP2DK dari kantor pajak.
Kelima, biaya operasional melonjak drastis padahal omzet stagnan. Kondisi ini dianggap janggal dan dapat memicu permintaan klarifikasi lebih lanjut dari petugas pajak.
Keenam, transaksi tunai besar dan berulang tanpa bukti pendukung. Situasi ini sering dianggap cara menghindari jejak digital sehingga menimbulkan kecurigaan tambahan.
Ketujuh, menerima SP2DK namun tidak ditanggapi. Diam seribu bahasa hanya akan memperburuk keadaan, karena komunikasi dengan account representative (AR) adalah kunci.
Praktik bisnis yang tidak transparan bisa berakibat fatal. Petugas pajak memiliki wewenang menindaklanjuti ketidakwajaran yang muncul dalam laporan keuangan perusahaan.
Transparansi, dokumentasi lengkap, dan komunikasi terbuka adalah kunci utama. Jika ragu, konsultasi dengan ahli pajak jauh lebih baik daripada menghadapi masalah hukum.
Dengan memahami pola transaksi rawan ini, pelaku usaha dapat lebih berhati-hati. Pajak yang dikelola dengan benar akan membuat bisnis berjalan lebih aman dan berkelanjutan.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar