Banyak orang salah memahami pernikahan. Sebagian menganggapnya hanya pertukaran nafsu seksual dan uang belanja, padahal hakikat pernikahan jauh lebih dalam dan bernilai.
Pernikahan bukanlah sekadar urusan fisik. Ia bukan kontrak antara kebutuhan biologis dengan finansial, melainkan ikatan sakral yang menghubungkan dua jiwa dalam komitmen jangka panjang.
Kesalahpahaman lain adalah melihat pernikahan sebagai jebakan, hanya demi membesarkan anak. Pandangan ini mereduksi makna pernikahan menjadi sekadar kewajiban sempit.
Pernikahan sejatinya bukan sekadar tugas membesarkan keturunan, melainkan ruang tumbuh bersama. Pasangan membangun pondasi, menghadapi tantangan, dan membentuk generasi dengan cinta serta nilai kebersamaan.
Lebih keliru lagi, ada yang memaknai pernikahan sebagai jebakan menua bersama orang yang tidak diinginkan. Pemahaman ini justru melahirkan perasaan tertekan.
Padahal, pernikahan yang sehat dibangun atas pilihan sadar, kesesuaian hati, dan kemauan menjaga cinta seiring waktu. Tidak ada unsur keterpaksaan dalam komitmen sejati.
Pernikahan bukan akhir kebebasan, melainkan awal perjalanan bersama. Di sinilah dua manusia belajar tentang pengorbanan, komunikasi, kesetiaan, serta makna kehidupan sebenarnya.
Menghadapi realitas rumah tangga, pasangan harus belajar menerima kekurangan satu sama lain. Komitmen ini menjadi fondasi agar pernikahan berjalan harmonis, meski badai selalu datang menghantam.
Kebahagiaan pernikahan bukan ditentukan materi semata, melainkan kualitas interaksi emosional, komunikasi jujur, dan visi hidup yang terus disatukan dari waktu ke waktu.
Makna pernikahan sejati adalah perjalanan spiritual, emosional, dan sosial. Ia bukan jebakan, tetapi ruang pertumbuhan yang memberi arti lebih dalam pada kehidupan.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar