Pernikahan kerap dipandang sebagai jalan menuju kebahagiaan. Namun, bagaimana jika dua orang menikah tanpa terlebih dahulu berdamai dengan luka batin masing-masing?
Alih-alih menjadi ruang penyembuhan, pernikahan justru dapat berubah menjadi arena penuh konflik, pertengkaran emosional, hingga reproduksi trauma. Psikologi pernikahan menegaskan pentingnya kesiapan diri sebelum berkomitmen.
Komunikasi pasangan yang belum selesai dengan dirinya sering dipenuhi residu masa lalu. Masalah kecil bisa membesar karena emosi tak terselesaikan, berujung tuduhan, defensif, atau memilih diam menghindar.
Selain itu, proyeksi luka batin kerap dilemparkan kepada pasangan. Rasa takut ditinggalkan atau trauma lama dapat berubah menjadi sikap posesif, kecemburuan berlebihan, dan konflik yang terus berulang.
Pernikahan sehat membutuhkan rasa aman berupa kepercayaan, komitmen, dan dukungan emosional. Bila keduanya rapuh, hubungan mudah terjebak siklus tarik-ulur penuh rasa tidak aman.
Situasi semakin rumit ketika toleransi emosional rendah. Pertengkaran kecil cepat meledak, membuat energi hubungan terkuras untuk konflik, bukan membangun pertumbuhan bersama dalam pernikahan.
Padahal, pernikahan idealnya menjadi ruang saling mendukung. Namun, bila masing-masing sibuk dengan luka pribadinya, pasangan bisa merasa kesepian meski sudah menikah secara sah.
Kesepian dalam pernikahan bahkan lebih menyakitkan dibanding kesendirian. Dampaknya, rasa keterasingan emosional semakin dalam, menciptakan jurang besar antara dua individu dalam ikatan pernikahan.
Lebih berbahaya lagi, tanpa kesadaran, luka masa lalu dapat direproduksi. Korban pengabaian emosional bisa menjadi pasangan yang juga abai, menciptakan lingkaran toxic berkepanjangan.
Pernikahan semacam ini ibarat dua gelas kosong yang saling berharap diisi. Bukannya melengkapi, keduanya justru saling menguras energi batin.
Solusi mendasar adalah membangun kesadaran diri (self-awareness), menyembuhkan trauma, dan melatih regulasi emosi. Hanya dengan fondasi itu, pernikahan dapat menjadi ruang sehat untuk tumbuh bersama.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar