Tujuh organisasi masyarakat sipil melayangkan surat terbuka kepada pejabat publik yang menolak kenaikan tarif cukai rokok karena dinilai menyesatkan dan tidak berpihak pada kesehatan.
Surat tersebut dikirim oleh Koalisi Pengendalian Tembakau, terdiri dari PKJS UI, CISDI, Komnas PT, IYCTC, Yayasan Lentera Anak, Yayasan KAKAK, dan PBHI.
Koalisi menyebut, pernyataan pejabat yang menyebut cukai merugikan industri dan tenaga kerja, tanpa dasar kebijakan menyeluruh, bisa melemahkan upaya reformasi kesehatan nasional.
Mereka mencatat, prevalensi perokok di Indonesia terus meningkat, bahkan perokok anak usia 10–18 tahun melonjak drastis dari 4,1 juta (2013) menjadi 5,9 juta (2023).
Selain itu, Indonesia menjadi negara dengan jumlah perokok laki-laki tertinggi di dunia. Konsumsi rokok elektronik pun naik sepuluh kali lipat dalam satu dekade.
Koalisi juga menyoroti kerugian ekonomi akibat rokok yang mencapai Rp410 triliun per tahun, jauh lebih besar dari penerimaan cukai yang hanya Rp170 triliun saat itu.
Mereka menyebut enam dari sepuluh rumah tangga lebih banyak membeli rokok dibandingkan makanan bergizi, seperti ikan, sayur, telur, dan buah.
Narasi soal cukai merugikan petani dan menyebabkan PHK, menurut mereka, tidak berdasar. Justru industri besar menggunakan otomatisasi, menggantikan ribuan pekerja dengan mesin.
Mereka juga membantah klaim bahwa rokok ilegal meningkat akibat kenaikan cukai. Riset menunjukkan rokok ilegal lebih disebabkan lemahnya pengawasan pasokan di tingkat lokal.
Koalisi meminta pejabat berhenti menyebarkan narasi keliru yang memperkuat resistansi industri rokok dan melemahkan perlindungan masyarakat dari dampak rokok.
Mereka menegaskan, cukai rokok adalah sanksi atas produk adiktif dan harus direformasi secara progresif demi tercapainya generasi emas Indonesia 2045.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar