19 Agustus adalah merupakan hari berdirinya Mahkamah Agung (MA). Sebagai lembaga peradilan tertinggi yang menjaga tegaknya hukum, keadilan, dan marwah konstitusi.
Delapan dekade perjalanan MA bukanlah perjalanan singkat. Institusi ini menghadapi ujian berat, tekanan politik, hingga tantangan integritas yang menguji kokoh tidaknya fondasi peradilan.
Seperti manusia berusia lanjut, delapan dekade berarti pengalaman panjang. Dalam rentang waktu itu, MA memberikan kontribusi nyata menjaga supremasi hukum dan melindungi hak rakyat.
Di ujung toga hakim, rakyat menitipkan harapan besar. Keadilan harus dirawat, ditegakkan, dan dijaga agar rasa aman tetap menyertai masyarakat Indonesia.
Di balik toga dan palu sidang, tersimpan makna mendalam. Palu hakim bukan sekadar simbol, melainkan representasi kekuasaan kehakiman yang independen, netral, serta berlandaskan nurani keadilan.
Ketukan palu menjadi legitimasi hukum yang mengikat seluruh warga negara. Di sanalah kepercayaan publik terhadap MA dan integritas lembaga peradilan dipertaruhkan.
Tugas hakim tidak sebatas mengadili, tetapi juga memikul tanggung jawab moral. Hakim dituntut mengadili tanpa takut, meski menghadapi tekanan politik, ekonomi, maupun opini publik.
Keberanian hakim menegakkan hukum tanpa pamrih mencerminkan integritas pribadi sekaligus menjaga kepercayaan rakyat terhadap lembaga peradilan. Tanpa keberanian, legitimasi hukum bisa runtuh.
Mengadili tanpa takut bukan semboyan hampa. Ia adalah panggilan jiwa seorang hakim untuk menafsirkan hukum secara jernih, berani, dan sepenuhnya demi rakyat.
Refleksi 80 tahun Mahkamah Agung adalah pengingat penting bahwa hukum hanya bermakna ketika ditegakkan dengan ketulusan, keberanian moral, dan dedikasi menjaga keadilan bagi bangsa.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar