Banyak pihak mengira kemenangan perkara perdata di pengadilan berarti semua masalah selesai. Faktanya, tanpa eksekusi, putusan sering mandek.
Mahkamah Agung bersama BRIN menyoroti persoalan eksekusi putusan perdata yang kerap berlarut. Eksekusi tertunda bukan hanya menghambat keadilan, tapi juga mengancam iklim investasi.
Menjalankan putusan perdata sebenarnya ada dua cara. Pertama sukarela oleh pihak kalah. Jika menolak, pengadilan dapat melakukan tindakan paksa melalui mekanisme eksekusi.
Contoh sederhana terlihat pada sengketa tanah. Budi menang gugatan, tapi lawan masih menguasai lahan. Tanpa pelaksanaan sukarela, Budi wajib mengajukan eksekusi pengosongan.
Proses eksekusi sering lambat karena koordinasi antarlembaga kurang seragam. Belum adanya mekanisme pengamanan baku serta aturan teknis jelas membuat pelaksanaan kerap tertunda lama.
Ketidakpastian ini berdampak besar pada dunia usaha. Investor menilai lemahnya eksekusi putusan mengurangi kredibilitas sistem hukum dan menurunkan indikator Business Enabling Environment.
Dalam e-book resmi Mahkamah Agung dan BRIN disebutkan, lemahnya pelaksanaan putusan memperburuk kepercayaan publik, menghambat pembangunan, serta mengancam ribuan lapangan kerja potensial.
Kasus-kasus macet eksekusi membuat banyak proyek gagal berjalan. Produksi tersendat, pekerja kehilangan kesempatan, sementara investor asing semakin ragu menanam modal di Indonesia.
Policy paper yang disusun Pusat Strategi Kebijakan Hukum dan Peradilan bersama BRIN menyarankan adanya aturan tegas mengenai biaya, prosedur, hingga pengamanan eksekusi.
Dengan regulasi lebih responsif, transparan, dan terukur, sistem eksekusi diharapkan menjadi lebih adil. Hal ini penting demi membangun kepastian hukum dan mendorong investasi berkelanjutan.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar