Center of Human and Development (CHED) ITB Ahmad Dahlan Jakarta menggelar konferensi pers bertajuk “Membaca RAPBN 2026: Target Penerimaan Cukai Rokok Untuk Rakyat atau Pemerintah?”
Diskusi publik tersebut menyoroti kontradiksi kebijakan fiskal tembakau. CHED ITB-AD menilai target penerimaan cukai rokok justru tidak sebanding dengan biaya kesehatan akibat penyakit terkait kebiasaan merokok yang terus meningkat.
"Industri rokok sebagai bentuk serakahnomics. Perusahaan tembakau mengeksploitasi konsumen yang sudah kecanduan dan bahkan menyasar kelompok paling rentan termasuk anak-anak," ujar Ketua CHED ITB-AD, Roosita Meilani Dewi, di Jakarta, Jumat (22/08/2025).
Ia mencontohkan temuan di Desa Kotawaringin, Bangka Belitung, di mana seorang kepala desa mendapati anak berusia 10 tahun sudah kecanduan rokok. Kondisi ini disebut alarm berbahaya.
Roosita menjelaskan keserakahan industri tidak hanya merusak generasi muda, tetapi juga memindahkan beban biaya penyakit kronis kepada masyarakat. Beban ini mencakup kanker, jantung, dan PPOK.
“Keserakahan industri memindahkan beban ke masyarakat. Biaya penyakit jantung, kanker, dan paru kronis meningkat tanpa disadari para korban kecanduan,” ujarnya.
Selain itu, ia menambahkan bahwa perilaku merokok berdampak pada penurunan produktivitas nasional serta kerusakan lingkungan akibat asap dan limbah puntung rokok yang sulit terurai.
Roosita menilai tidak semestinya industri menggunakan keuntungan cukai untuk program kesehatan langsung. Menurutnya, keuntungan harus masuk ke negara agar digunakan sesuai kepentingan rakyat.
Kementerian Kesehatan melaporkan prevalensi perokok aktif di Indonesia masih sangat tinggi, mencapai 70 juta orang. Ironisnya, 7,4 persen adalah anak usia 10–18 tahun.
Sekretaris ADINKES Pusat, Halik Sidik, menambahkan bahwa lebih dari 20 penyakit terafiliasi langsung dengan konsumsi rokok. Akibatnya, biaya kesehatan selalu membengkak setiap tahun.
Menurut Halik, RAPBN 2026 memang menargetkan Rp244 triliun untuk kesehatan. Namun tanpa pengendalian konsumsi rokok, kebijakan itu ibarat kapal besar yang tetap bocor.
Ia menekankan, cukai harus dilihat sebagai instrumen kesehatan, bukan sekadar mesin uang negara. Sebab biaya akibat rokok bisa dua hingga tiga kali lipat pendapatan cukai.
Pakar ekonomi kesehatan Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan, juga menegaskan kenaikan harga rokok melalui tarif cukai adalah cara paling efektif menekan konsumsi.
Ia menambahkan, hukum ekonomi berlaku tegas: semakin tinggi harga rokok, semakin rendah permintaan. Strategi ini terbukti efektif di banyak negara dunia.
Ahsan menekankan, uang yang biasa dihabiskan masyarakat untuk rokok sebenarnya tidak hilang. Jika dialihkan, dana itu bisa digunakan untuk kebutuhan produktif.
Studi global WHO bahkan menunjukkan kenaikan cukai 50 persen mampu menurunkan prevalensi merokok signifikan, sekaligus meningkatkan penerimaan negara untuk kesehatan.
Menurut Ahsan, justru konsumsi rokok yang tinggi membuat ekonomi melemah. Sebaliknya, jika masyarakat sehat, kualitas SDM meningkat, produktivitas naik, dan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih kuat.
CHED pun menegaskan, pemerintah perlu berani menaikkan cukai signifikan. Tujuannya agar anak-anak dan masyarakat miskin sulit mengakses rokok yang hanya menambah beban keluarga.
Jika tidak ada intervensi tegas, target RAPBN 2026 untuk menekan stunting, TBC, dan memperluas jaminan kesehatan hanya akan jadi janji semu belaka.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar