Kasus dugaan malpraktik rumah sakit kembali menyita perhatian publik setelah seorang pasien bernama Hera kehilangan empat jarinya usai menjalani perawatan medis.
Kuasa hukum korban, Kemas, mengungkapkan telah dua kali melakukan pertemuan dengan pihak rumah sakit. Namun proses penyelesaian justru terkesan tarik ulur tanpa kepastian jelas.
Menurut Kemas, mekanisme penyelesaian kasus dugaan malpraktik di Indonesia masih lemah. Sistem hukum dinilai belum memberi perlindungan maksimal bagi pasien dan keluarganya.
Ia juga mengkritik langkah rumah sakit yang secara sepihak mengunjungi pasien tanpa izin tim hukum. Tindakan ini dianggap melanggar kesepakatan hukum yang sudah dibuat sebelumnya.
Kemas menegaskan penggunaan istilah akta perdamaian dalam pernyataan resmi rumah sakit tidak tepat. Sebab, akta perdamaian hanya produk pengadilan, bukan kesepakatan internal.
“Jangan salah gunakan istilah hukum. Itu membuktikan ketidakmampuan mereka menangani perkara serius ini,” ujar Kemas dalam pernyataan resmi, Jumat, 22 Agustus 2025.
Pada hari yang sama, pukul 18.00 WIB, rumah sakit mengirim surat kepada keluarga korban. Mereka menawarkan kompensasi berupa kerohiman atas kehilangan empat jari.
Namun tawaran damai tersebut ditolak tegas oleh Hera dan keluarganya. Bagi mereka, kehilangan bagian tubuh tidak bisa diganti dengan uang.
Sebagai langkah hukum, tim kuasa hukum resmi melaporkan kasus ini ke Majelis Disiplin Profesi Konsil Kesehatan Indonesia (MDP KKI) pada 6 Agustus 2025.
Laporan juga ditembuskan ke Komisi IX DPR RI, Kementerian Kesehatan, dan Dinas Kesehatan daerah. Langkah ini dianggap penting demi tegaknya keadilan.
“Ini bukan main-main. Kami ajukan laporan resmi sesuai undang-undang, demi melindungi pasien lain agar tidak mengalami nasib sama,” tegas Kemas.
Kasus ini dipastikan akan menjadi sorotan publik. DPR RI diminta memperketat pengawasan, sementara masyarakat berharap ada keadilan nyata bagi korban.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar