Perang terbesar dunia kripto hari ini bukan soal harga koin, melainkan pertarungan ideologi antara Solana dan Ethereum.
Solana mengusung pendekatan monolithic dengan kecepatan brutal lebih dari 2.600 transaksi per detik. Semua eksekusi, data, dan keamanan dikerjakan satu layer.
Ethereum memilih jalur modular. Layer 1 menjaga keamanan, sementara Layer 2 fokus pada kecepatan transaksi. Filosofi ini dianggap lebih fleksibel dan terdesentralisasi.
Solana unggul dalam pengalaman pengguna. Transaksi murah dan cepat membuatnya populer di kalangan ritel, gaming, hingga aplikasi DePIN dan artificial intelligence.
Namun, kelemahan Solana terletak pada risiko sentralisasi. Validator butuh perangkat mahal, sehingga hanya sedikit pihak yang mampu menjalankan node dengan konsisten.
Ethereum, sebaliknya, dikenal aman dan teruji. Desentralisasinya dianggap paling kuat di dunia. Namun gas fee mahal dan fragmentasi antar Layer 2 masih jadi masalah.
Dukungan kapital juga berbeda. Solana disokong Multicoin Capital dan FTX, sementara Ethereum punya dukungan a16z dan Pantera Capital yang berfokus jangka panjang.
Data Januari 2025 menunjukkan Solana unggul pada jumlah pengguna aktif harian sekitar 5 juta. Ethereum masih memimpin total value locked dalam ekosistem DeFi.
Pakar menyebut keduanya tidak akan saling menggantikan. Solana cocok untuk transaksi cepat, sedangkan Ethereum ideal bagi institusi yang memprioritaskan keamanan.
Investor diimbau berhenti fanatik. Alih-alih terjebak dalam tribalism, lebih bijak membagi portofolio sesuai data, kebutuhan, dan risiko masing-masing ekosistem blockchain.
Kesimpulannya, perang Solana versus Ethereum bukan tentang siapa lebih cepat, melainkan siapa lebih relevan untuk kebutuhan spesifik masa depan internet terdesentralisasi.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar