Siapa sangka, seorang manajer brand internasional rela turun ke gang sempit, mencuci baju bareng emak-emak demi menyelamatkan produk yang nyaris kalah di pasar.
Saat itu, Rinso terjepit di tengah persaingan sengit. Di atasnya ada brand premium anti noda, di bawahnya merek lokal murah dengan proteksi higienis anti bau.
Posisi seperti sandwich ini membuat pertumbuhan Rinso stagnan. Tugas berat pun jatuh ke tangan Regional Brand Manager Asia Tenggara untuk mengubah situasi.
Alih-alih duduk di ruang rapat, sang manajer terbang keliling Indonesia, Thailand, Vietnam, hingga India untuk bertemu langsung para ibu rumah tangga.
Ia masuk gang, nimbrung mencuci bersama, dan mengamati cara mereka memperlakukan pakaian serta memilih detergen. Hasilnya? Insight berharga yang tak ditemukan di laporan riset.
Banyak ibu beranggapan, kekuatan kucek tangan lebih penting daripada merek detergen. Selisih harga justru mereka alihkan untuk membeli lauk bagi keluarga.
Itu artinya, Rinso tak bisa lagi hanya menjual klaim “paling bersih”. Strategi harus berubah menjadi penjualan nilai emosional yang menyentuh hati target pasar.
Muncullah ide iklan yang memandang kotor sebagai tanda belajar. “Berani Kotor Itu Baik” menjadi pesan utama, mengaitkan kebebasan bermain anak dengan masa depan gemilang.
Ibu-ibu pun tersentuh. Mereka kembali memilih Rinso, percaya bahwa kotor bukan musuh, melainkan bagian dari proses tumbuh cerdas dan sukses anak.
Dalam setahun, penjualan Rinso melesat lima kali lipat dari rata-rata tahunan sebelumnya. Brand ini bukan sekadar detergen, tapi simbol harapan keluarga.
Kampanye ini sukses di empat negara sekaligus, berkat sistem kerja solid yang memastikan eksekusi seragam di seluruh Asia Tenggara. Ide brilian bertemu manajemen hebat.
Kini, “Berani Kotor Demi Kebaikan” menjadi lebih dari slogan. Ia adalah warisan strategi pemasaran yang mengubah cara pandang konsumen terhadap detergen.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar