Menikah beda budaya, lintas negara, atau punya usaha pribadi butuh persiapan ekstra. Salah satunya lewat perjanjian kawin untuk perlindungan hukum.
Banyak pasangan menganggap perjanjian kawin hanya soal pisah harta. Faktanya, dokumen ini juga menjaga keadilan finansial sekaligus mencegah konflik hukum di masa depan.
Menurut ahli hukum keluarga, ada tiga bentuk utama perjanjian kawin: kebersamaan untung rugi, kebersamaan hasil pendapatan, serta peniadaan harta bersama.
Bentuk pertama, kebersamaan untung rugi, membuat pasangan hanya berbagi keuntungan dan kerugian, tanpa mencampur harta bawaan masing-masing sejak sebelum menikah.
Bentuk kedua, kebersamaan hasil pendapatan, mengatur hanya penghasilan dan kerugian usaha selama perkawinan yang dibagi, sementara harta pribadi tetap milik individu.
Dasar hukumnya tercatat dalam KUH Perdata, di mana tanggung jawab suami masih dominan. Namun, bentuk ini dianggap adil bagi pasangan dengan penghasilan berbeda.
Bentuk ketiga, peniadaan harta bersama, memisahkan seluruh aset maupun utang. Cocok bagi pasangan dengan usaha pribadi, warisan keluarga, atau perbedaan hukum antarnegara.
Jika salah memilih, konsekuensinya bisa berat: rebutan rumah pasca-cerai, terbebani utang pasangan, hingga usaha pribadi otomatis jadi milik bersama.
Karena itu, penting berkonsultasi sebelum menentukan bentuk perjanjian. Notaris dan pencatat perkawinan wajib mengesahkan, sesuai putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015.
Perjanjian kawin bisa dibuat sebelum atau saat pernikahan berlangsung. Bahkan bisa dikustomisasi selama tidak bertentangan dengan hukum dan norma kesusilaan.
Banyak pasangan bertanya apakah berlaku seumur hidup. Jawabannya ya, kecuali ada kesepakatan bersama untuk mengubah isi perjanjian secara resmi.
Kesimpulannya, perjanjian kawin bukan sekadar formalitas. Dokumen ini adalah tameng hukum agar pasangan tetap terlindungi, sekaligus menjaga keharmonisan rumah tangga.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar