Duta Nusantara Merdeka | Jakarta
Fenomena menarik terjadi ketika bencana besar melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, namun justru rakyat bergerak lebih cepat dibanding negara yang seharusnya hadir.
Dalam situasi genting tersebut, publik menyaksikan gelombang solidaritas luar biasa yang dipimpin Ferry Irwandi melalui Malaka Project dan berhasil menghimpun Rp10,3 miliar dalam 24 jam.
Gerakan ini bukan sekadar penggalangan dana digital yang biasa muncul pascabencana, tetapi menjadi ekspresi sosial yang memantulkan kejujuran moral serta empati kolektif masyarakat.
Respons cepat masyarakat ini menghadirkan kontras mencolok dengan elite politik yang sering tampil hanya ketika kamera menyala, tanpa kontribusi berarti di lapangan bencana.
Antusiasme publik menggambarkan dua hal penting, yakni kredibilitas personal Ferry Irwandi dan kekecewaan mendalam terhadap lambannya respons serta lemahnya kebijakan pemerintah.
Kekecewaan tersebut bukan muncul tiba-tiba, melainkan akumulasi panjang dari berbagai kebijakan yang membuka jalan bagi deforestasi dan ekspansi ekstraktif di Sumatera.
Bencana Aceh, Sumbar, dan Sumut sebenarnya bukan gejala alam semata, melainkan konsekuensi dari kerusakan ekologis yang telah dibiarkan tanpa pemulihan memadai selama bertahun-tahun.
Kerusakan itu merupakan bukti nyata bahwa kebijakan penggunaan lahan dan kepentingan ekonomi yang didorong elite sering mengabaikan dampak terhadap keselamatan ekologis masyarakat.
Jejak kebijakan bermasalah ini juga terlihat pada periode Zulkifli Hasan yang menjabat Menteri Kehutanan, di mana deforestasi Sumatera berada pada tingkat tertinggi sepanjang sejarah.
Organisasi lingkungan seperti Greenpeace dan WALHI mencatat lemahnya pengawasan negara yang memicu konflik agraria, perampasan ruang hidup, serta degradasi hutan skala massif.
Situasi ini semakin diperburuk aktivitas ekstraksi energi yang berada di bawah kewenangan Bahlil Lahadalia, terutama pada sektor batu bara, panas bumi, dan mineral strategis.
Setiap eksploitasi sumber daya energi memiliki jejak ekologis yang berat, terutama pada kawasan resapan air yang menentukan stabilitas hidrologis wilayah Sumatera.
Ketika pemulihan lingkungan tidak berjalan seimbang dan pengawasan minim, bencana akan menjadi jawaban alam terhadap ketidakadilan ekologis yang terus dibiarkan berlangsung.
Raja Juli Antoni sebagai Menteri Kehutanan hari ini memang memikul tugas pemulihan, tetapi kerusakan yang diwariskan generasi pejabat sebelumnya terlalu besar untuk ditangani cepat.
Pada titik ini, publik memahami bahwa persoalan ekologis Sumatera bukan hanya teknis, melainkan politik, sebab kebijakan selalu berpihak pada kepentingan ekstraktif, bukan keberlanjutan.
Kebijakan yang memberi ruang kepada korporasi besar mempercepat fragmentasi hutan, mempersempit ruang masyarakat adat, dan menggiring lingkungan menuju kehancuran bertahap.
Dalam konteks itulah gelombang donasi Rp10,3 miliar menjadi simbol perlawanan moral masyarakat terhadap kelambanan negara dan ketidakpekaan elite terhadap dampak kebijakannya sendiri.
Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kepedulian, tetapi juga mosi tidak percaya terhadap elite yang lebih sering tampil dramatis di media sosial dibanding bekerja sungguhan.
Kontras itu terlihat jelas ketika beberapa elite tampil di lokasi bencana dengan memanggul karung beras untuk kamera, namun tanpa program pemulihan nyata bagi korban.
Gestur tersebut dianggap publik sebagai pencitraan politis yang terlalu sering diulang hingga kehilangan makna, terutama ketika dibandingkan dengan aksi publik yang jauh lebih efektif.
Beberapa pejabat bahkan terlihat mengenakan rompi khusus dengan nama besar tertera jelas di dada, menciptakan kesan acara panggung alih-alih aksi kemanusiaan tulus.
Kehadiran karikatural semacam itu membuat publik semakin memilih jalur solidaritas mandiri yang dipandang lebih terpercaya dan bebas kepentingan politik jangka pendek.
Sementara aksi publik mengalir dengan kejujuran, tindakan elite semakin terbaca sebagai upaya manajemen pencitraan yang dipoles untuk mempertahankan popularitas.
Jurang moral antara gerakan organik masyarakat dan aksi simbolis elite memperjelas siapa yang benar-benar bekerja dan siapa yang hanya memanfaatkan tragedi.
Gelombang dukungan bagi Malaka Project memperlihatkan bahwa kepercayaan publik kini beralih kepada figur yang bekerja senyap tanpa publikasi, namun penuh tanggung jawab sosial.
Donasi yang deras menunjukkan besarnya kekuatan warga yang saling menopang, sekaligus mengungkap kerapuhan negara dalam merespons bencana ekologis berskala besar.
Ferry Irwandi dan relawannya menjadi simbol baru gerakan sipil yang mampu menembus batas administratif ketika negara justru terjebak dalam prosedur berbelit.
Aksi ini mengingatkan bahwa rakyat sering kali menjadi garda terdepan dalam krisis, sementara negara hadir sebagai penonton yang terlambat bergerak.
Fenomena Sumatera mengajarkan bahwa keberpihakan publik tidak lagi ditentukan retorika pejabat, melainkan konsistensi kerja dan integritas di lapangan.
Gelombang solidaritas ini sekaligus merefleksikan bahwa masyarakat tidak lagi menunggu negara, melainkan bertindak langsung demi menyelamatkan sesama.
Jika elite tidak segera berbenah dan memperbaiki kebijakan lingkungan yang rusak, kepercayaan publik akan terus mengalir ke figur independen yang dianggap lebih amanah.
Akhirnya, bencana Sumatera bukan hanya tragedi alam, tetapi cermin sosial yang menunjukkan siapa pekerja sejati dan siapa yang sekadar memanfaatkan panggung politik.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto