Dalam hukum pidana, terdapat dua unsur pokok yang menentukan pertanggungjawaban seseorang, yaitu actus reus sebagai perbuatan nyata dan mens rea sebagai niat batin pelaku.
Actus reus menggambarkan tindakan melanggar hukum yang tampak lahiriah, sedangkan mens rea menunjukkan sikap batin, kehendak, dan kondisi psikis ketika seseorang melakukan perbuatan pidana.
Doktrin penting ini ditegaskan para pakar hukum seperti Sudarto dan E. Utrecht, yang menekankan bahwa niat membedakan tindak pidana dari sekadar perbuatan biasa.
Prinsip geen straf zonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan memperkuat konsep ini. Moeljatno menjelaskan, kesalahan harus berupa kesengajaan (dolus) maupun kealpaan (culpa).
Menurut Roeslan Saleh, kesalahan timbul karena seseorang sebenarnya bisa menghindari perbuatan pidana, sehingga pantas dicela dan dimintai pertanggungjawaban oleh masyarakat.
Meski demikian, pembuktian mens rea di pengadilan tidak mudah. Niat bersifat subjektif, sehingga harus didukung bukti tidak langsung berupa perilaku, rekaman, atau motif pelaku.
Tingkat mens rea juga berpengaruh pada berat hukuman. Kesengajaan biasanya dijatuhi pidana lebih tinggi dibanding kelalaian yang dianggap kurang mencerminkan niat jahat.
Dasar hukum mengenai pentingnya niat diatur dalam Pasal 53 KUHP lama serta Pasal 17 ayat (1) KUHP baru hasil revisi tahun 2023.
Contoh aplikatifnya, anak kecil membakar rumah saat bermain korek api tidak dipidana karena belum memiliki kesadaran hukum maupun niat jahat terhadap perbuatannya.
Demikian pula dokter yang membuat surat palsu di bawah todongan senjata tidak dapat dipidana, sebab mens rea tidak timbul secara bebas dari dirinya.
Dengan demikian, actus reus dan mens rea wajib hadir bersamaan. Tanpa adanya niat jahat, pemidanaan tidak sah sesuai asas geen straf zonder schuld.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar