Kasus pencucian uang Rafael Alun Trisambodo kembali mencuat. Eks pejabat pajak itu diduga menyembunyikan aset Rp94,6 miliar lewat tiga cara licik.
Kasus ini menyeret nama besar mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Rafael Alun. Dalam periode 2003-2023, ia diduga mengatur perputaran uang senilai Rp94,6 miliar.
Sebagai pejabat senior Kementerian Keuangan, Rafael diyakini paham seluk-beluk regulasi perpajakan. Namun kepiawaiannya justru dimanfaatkan untuk menyembunyikan harta agar tak terlacak otoritas.
Cara pertama adalah praktik nominee, yakni menggunakan nama orang lain untuk menutupi kepemilikan aset. PPATK menemukan puluhan rekening atas nama keluarga Rafael.
Menurut Inspektur Jenderal Kemenkeu Awan Nurmawan Nuh, aset Rafael banyak tercatat atas nama istri dan anak-anaknya. Nilai mutasi rekening mereka mencapai Rp500 miliar selama empat tahun terakhir.
Langkah kedua, Rafael memanfaatkan kepemilikan saham di sejumlah perusahaan. Sedikitnya enam perusahaan dan satu konsultan pajak diduga terkait langsung dengannya, termasuk istri pejabat pajak lain.
Modus ketiga adalah menyimpan uang tunai dalam safe deposit box milik Bank Mandiri. Di sana ditemukan uang asing senilai Rp37 miliar, terpisah dari rekening resmi.
Safe deposit box memang dirancang untuk keamanan aset. Namun dalam kasus Rafael, fasilitas itu justru menjadi sarana penyamaran kekayaan di luar sistem perbankan resmi.
PPATK menilai temuan tersebut memperkuat dugaan adanya praktik pencucian uang yang kompleks dan terencana, dengan melibatkan jejaring keluarga serta entitas bisnis.
"Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan publik," ujar salah satu sumber di lingkungan Kemenkeu.
Kasus Rafael menjadi pengingat keras bahwa integritas aparatur negara adalah fondasi kepercayaan publik. Sekali rusak, nilainya tak bisa ditebus dengan harta.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar