Bagi Arif Fathoni, mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), benteng melawan radikalisme bukan senjata, melainkan keluarga dan pendidikan yang kokoh.
Pintu masuk radikalisme sering terbuka lewat pikiran yang kehilangan arah. Arif pernah mengalaminya saat masih mahasiswa dan terseret ajaran kebencian bertahun-tahun.
Setelah menjalani proses deradikalisasi, Arif kini bertekad menjadikan keluarganya sebagai perisai utama agar ideologi ekstrem tak lagi merasuki generasi muda.
"Harus pendidikan," ujarnya tegas dalam sebuah forum kebangsaan. Menurutnya, lemahnya literasi dan kasih sayang keluarga sering membuat seseorang mudah dimasuki paham kebencian.
Arif mengingat masa ketika narasi kebencian terhadap negara dan agama ditanamkan halus. "Keluarga bisa hilang karena pilihan radikal. Maka peluk keluarga," katanya lirih.
Kini ia aktif mengingatkan generasi muda agar tidak memutus komunikasi dengan orang tua. "Dulu saya meremehkan orang tua, itu salah besar," ujarnya menyesal.
Pendekatan humanis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88 Antiteror membuatnya sadar bahwa Islam sejati mengajarkan rahmat, bukan permusuhan dan kekerasan.
Melalui dialog dengan tokoh agama moderat dari NU dan Muhammadiyah, Arif menemukan kembali nilai kasih, ilmu, dan nasionalisme yang dulu hilang dari hidupnya.
la kini aktif berdakwah di kampus dan sekolah, menekankan bahwa benteng radikalisme bukan di barak, melainkan di rumah dan ruang kelas.
Arif menegaskan, menjaga keluarga dan pendidikan berarti menjaga masa depan bangsa. "Jangan biarkan kebencian merampas kasih," pesannya penuh haru.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar