Kisah hukum Ibu Mintarsih, Direktur PT Blue Bird Taxi, kembali mencuat setelah putusan Mahkamah Agung yang dinilai final ternyata dapat ditambah kembali.
Perkara ini bermula dari gugatan internal PT Blue Bird Taxi, ketika Purnomo-sesama direktur-menggugat Mintarsih melalui perkara 313/Pdt.G/2013/PN.Jkt. Sel, tanpa restu pemegang saham.
Meski disebut "peradilan sesat", gugatan tetap berlanjut hingga Mahkamah Agung. Ironisnya, setelah putusan final, masih muncul keputusan tambahan yang menimbulkan tanda tanya besar publik.
Dalam gugatannya, Mintarsih diminta mengembalikan seluruh gaji yang pernah diterimanya. Tuduhan didasarkan hanya pada kesaksian sekretaris pribadi Purnomo, tanpa bukti kerja konkret.
Mintarsih menghadirkan lima saksi mantan karyawan yang justru membenarkan kinerjanya. Mereka bersaksi bahwa Mintarsih aktif mengelola operasional, pembukuan, hingga sistem manajemen komputer perusahaan.
Sebaliknya, saksi menyebut Purnomo dan Chandra jarang hadir di kantor. Fakta ini memperkuat dugaan adanya ketimpangan dalam proses hukum yang dijalani Mintarsih.
Namun, putusan akhir Mahkamah Agung tetap menjatuhkan denda Rp140 miliar kepada Mintarsih, tanpa melibatkan anak-anaknya dan tanpa sita jaminan sebelumnya.
Tak berhenti di situ, Pengadilan Negeri kemudian mengeluarkan surat teguran dan relaas eksekusi, bahkan menambah pelaksanaan sita terhadap aset keluarga Mintarsih.
Mintarsih mengaku terkejut karena surat eksekusi diterima Jumat sore, dan pelaksanaan sita dijadwalkan Senin pagi pukul 08.00 WIB tanpa kesempatan pembelaan.
Lebih mengejutkan lagi, putri Purnomo meminta pemblokiran tanah yang sudah diurus Mintarsih selama empat tahun, meski tidak ada putusan sita jaminan dari MA.
Surat pemblokiran "tetap" diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional melalui sejumlah surat resmi, memperburuk tekanan yang kini dialami keluarga Mintarsih.
Dalam analisis hukum, Mintarsih menilai putusan tambahan tersebut mencederai prinsip final dan mengikat (inkracht) Mahkamah Agung, serta membuka celah ketidakpastian hukum nasional.
la merasa dihukum atas dasar gugatan tanpa bukti kuat, hanya karena struktur kekuasaan dan pengaruh besar dalam lingkaran perusahaan yang dulu dibesarkannya sendiri.
Kisah ini menyentuh banyak kalangan. Para aktivis perempuan dan pemerhati hukum menilai, kasus Mintarsih mencerminkan lemahnya perlindungan terhadap perempuan di dunia korporasi.
Beberapa pihak juga menilai, praktik hukum seperti ini berpotensi menciptakan preseden berbahaya bagi pekerja lain yang bisa dipaksa "mengembalikan gaji" tanpa dasar hukum jelas.
Mintarsih kini tengah mengajukan Peninjauan Kembali (PK), la berharap hakim agung dapat melihat sisi kemanusiaan dan keadilan substantif dalam perkara yang berlarut ini.
la menilai, putusan tambahan hanya memperberat penderitaan keluarganya yang sama sekali tak terlibat dalam perkara. "Kami hanya ingin keadilan," ujarnya di Jakarta, Senin (20/10).
Kasus ini pun menyorot tajam peran lembaga peradilan yang semestinya menjamin kepastian hukum, bukan justru menambah putusan yang telah final secara hukum.
Di tengah tekanan batin dan sosial, Mintarsih berusaha tetap tabah. la menyebut, perjuangannya bukan sekadar demi dirinya, tapi juga demi keadilan bagi banyak perempuan lain.
Kasus Mintarsih menjadi cermin getir bahwa hukum bisa menjadi senjata tajam bagi yang lemah, ketika keadilan justru mudah ditambah dan diubah oleh kekuasaan.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar