Buku nikah bukan sekadar kenangan pernikahan, melainkan dokumen vital yang menjadi syarat legal standing dalam pengajuan perceraian di pengadilan.
Namun, di tengah proses hukum, masih ada keluhan dari pihak berperkara soal biaya duplikat buku nikah yang mencapai ratusan ribu hingga satu juta rupiah.
Ironisnya, praktik pungutan liar ini masih terjadi meski Kementerian Agama tengah gencar membangun predikat Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM).
Buku nikah adalah akta otentik dari Kantor Urusan Agama (KUA) yang membuktikan sahnya perkawinan secara agama dan diakui hukum negara.
Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 menegaskan, perceraian hanya sah jika dilakukan di depan majelis hakim, bukan di luar pengadilan.
Tanpa buku nikah, gugatan cerai di pengadilan tak dapat diproses, kecuali melalui itsbat nikah sesuai ketentuan Kompilasi Hukum Islam.
Bila buku nikah rusak atau hilang, pasangan berhak mengajukan permohonan duplikat sesuai Pasal 1 Permenag Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan.
Prosesnya sederhana: bawa buku nikah rusak ke KUA untuk diverifikasi, atau lampirkan surat kehilangan dari kepolisian jika dokumen hilang.
Yang mengejutkan, tidak ada dasar hukum yang mengatur biaya resmi penerbitan duplikat buku nikah — artinya, proses ini gratis.
PP Nomor 59 Tahun 2018 bahkan menegaskan, pencatatan nikah di KUA tidak dipungut biaya, kecuali pernikahan dilakukan di luar kantor.
Biaya yang sah hanyalah transportasi dan jasa profesi penghulu, yakni Rp600.000 sesuai ketentuan resmi yang berlaku di seluruh Indonesia.
Masyarakat diimbau melapor jika menemukan oknum yang memungut biaya tidak resmi dalam penerbitan duplikat buku nikah.
Penulis Lakalim Adalin
Editor Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar