Dari meja rapat kantor hingga kursi empuk kekuasaan, fenomena “pemimpin bodoh tapi bertahan lama” bukan rahasia lagi.
Mereka bukan pemikir ulung, apalagi inovator. Tapi entah bagaimana, selalu berhasil menapaki tangga jabatan tanpa tergelincir oleh kompetensi.
Kuncinya sederhana: membuat atasan merasa aman, membungkam kritik, dan memastikan tak ada ide berbahaya yang bisa mengusik status quo.
Orang cerdas? Sering kali justru disingkirkan. Dalam politik dan birokrasi, pintar sering berarti kritis, dan kritis berarti ancaman bagi pimpinan rapuh.
Sebaliknya, orang bodoh dianggap “aset strategis”: mudah diarahkan, tak banyak tanya, dan siap membela kebijakan konyol demi jaga citra bos.
Berikut tujuh trik orang bodoh bisa menguasai kursi pemimpin:
1. Jago Menjilat — Pujian manis jadi senjata, membuat atasan merasa seperti negarawan meski kebijakannya berantakan.
2. Selalu Mengiyakan — Semua ide bos dianggap wah, meski isinya cuma janji tanpa rencana.
3. Mudah Disuruh — Tugas absurd? Laksanakan. Instruksi ngawur? Siap jalan. Tak ada ruang logika.
4. Gampang Dimanipulasi — Siapa yang bisik di telinga, dialah pengendali sesungguhnya.
5. Loyalitas Buta — Setia pada orang, bukan pada kebenaran, bahkan jika rakyat atau pegawai jadi korban.
6. Tak Mengganggu Zona Nyaman — Tidak pernah menawarkan gagasan reformasi yang bikin atasan gelisah.
7. Jadi Tameng Kesalahan — Rela diseret sebagai kambing hitam saat kebijakan gagal total.
Masalahnya, topeng kebodohan tak bertahan selamanya. Saat krisis datang, ketidakmampuan itu meledak, meninggalkan kerusakan yang sulit diperbaiki.
Fenomena ini bukan sekadar kisah kantor. Di panggung politik, strategi yang sama bisa memelihara kekuasaan, tapi mengorbankan masa depan bangsa.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar