Duta Nusantara Merdeka | Jakarta - Presiden Soeharto dikenal sebagai pemimpin Indonesia yang terlibat langsung dalam revolusi fisik dan pembangunan besar, meliputi bidang ekonomi, teknologi, serta politik internasional.
Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mencatat sejarah sebagai negara berkembang pesat. Pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, Indonesia dijuluki Macan Asia Baru.
Predikat tersebut menempatkan Indonesia sejajar dengan Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura, mencerminkan prestasi luar biasa kepemimpinan Presiden Soeharto.
Namun, pasca lengsernya Soeharto dan perubahan UUD 1945 menjadi UUD 2002, predikat Macan Asia Baru kian sirna ditelan liberalisme global.
Ideologi asing masuk melalui investasi, budaya, dan teknologi. Pancasila lebih sering diperlakukan sekadar jargon politik, tanpa praktik nyata dalam kebijakan negara.
Nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial sering terabaikan. Bangsa kehilangan arah setelah era Soeharto berakhir.
Meski begitu, warisan Soeharto tak terbantahkan. Ia mengabadikan nama Presiden Sukarno pada bandara internasional, simbol penghormatan antargenerasi kepemimpinan bangsa.
Ironisnya, hingga kini tidak ada satu pun presiden era reformasi yang mengabadikan nama Soeharto pada institusi, gedung, jalan, atau fasilitas negara.
Banyak kalangan menilai ada kekuatan besar yang sengaja menghalangi pengakuan simbolik terhadap warisan Presiden kedua Indonesia itu.
Soeharto, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, meninggalkan gagasan berharga: kepemimpinan, strategi pembangunan, stabilitas nasional, serta wawasan kebangsaan.
Untuk mencegah warisan itu terkubur, diperlukan dokumentasi dan kajian ilmiah berkelanjutan agar generasi mendatang memperoleh referensi kebijakan yang objektif.
Generasi kini dan mendatang butuh ruang akademis independen. Melalui ruang itu, mereka bisa memahami peran Soeharto menyelamatkan Pancasila dari komunisme.
Dari pemahaman objektif, lahir harapan agar penyelenggaraan negara di masa depan berjalan lebih baik demi mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa.
Atas dasar itu, warga Indonesia lintas latar belakang sepakat membentuk lembaga kajian bernama Institut Jenderal Besar Soeharto.
Institut ini fokus pada kajian ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan dengan menjadikan gagasan Soeharto sebagai bahan utama.
Deklarasi pendirian dilakukan tepat pada 1 Oktober 2025, bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila, simbol penyelamatan bangsa dari ideologi komunisme.
Garsono, salah satu deklarator, menegaskan bahwa deklarasi ini lahir karena dorongan moral untuk mengembalikan nama Soeharto ke panggung kebangsaan.
Menurutnya, tanpa langkah tegas Soeharto membubarkan PKI, nasib bangsa Indonesia bisa berbeda. Komunisme mungkin tetap bercokol di Tanah Air.
Ia menyebut, selama lebih dari dua dekade, nama Soeharto sengaja ditenggelamkan. Tidak ada presiden reformasi berani mengabadikan namanya.
“Padahal Soekarno langsung diabadikan namanya setelah 18 tahun lengser. Soeharto sudah 27 tahun, belum satu pun presiden berani melakukannya,” ujarnya di Jakarta, Rabu (01/10).
Institut Jenderal Besar Soeharto diharapkan menjadi wadah akademik dan moral untuk melanjutkan warisan kepemimpinan yang pernah membawa Indonesia disegani dunia.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto