Apakah kamu sering merasa mudah tersentuh oleh ucapan orang lain atau cepat menangkap perubahan suasana hati di sekitar? Kamu mungkin termasuk pribadi sensitif.
Kepribadian sensitif bukan sekadar “baper,” tetapi hasil interaksi kompleks antara faktor genetik, struktur otak, dan pengalaman hidup yang membentuk cara seseorang merespons dunia.
Psikolog Elaine Aron memperkenalkan istilah Highly Sensitive Person (HSP) pada 1997. Ia menjelaskan bahwa individu sensitif memiliki sistem saraf yang memproses informasi secara lebih mendalam.
Orang dengan Sensory Processing Sensitivity (SPS) peka terhadap detail lingkungan, suara, dan ekspresi emosi. Sekitar 15–20 persen populasi manusia menunjukkan tingkat sensitivitas bawaan ini.
Faktor genetik juga berperan penting. Variasi gen 5-HTTLPR dan DRD4 yang mengatur serotonin dan dopamin membuat individu lebih reaktif terhadap pengalaman emosional, baik positif maupun negatif.
Penelitian MRI menunjukkan orang sensitif memiliki aktivitas lebih tinggi pada amygdala dan insula—bagian otak yang memproses ancaman dan emosi internal secara intens.
Akibatnya, mereka lebih mudah merasakan perubahan suasana hati dan sering mengalami kelelahan emosional di tengah situasi sosial yang ramai atau penuh tekanan.
Selain faktor biologis, pengalaman masa kecil dan pola asuh juga berpengaruh besar terhadap perkembangan sensitivitas seseorang. Anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh kritik lebih waspada secara emosional.
Teori attachment menjelaskan bahwa individu dengan pola anxious attachment cenderung lebih peka terhadap sinyal penolakan, sebagai bentuk perlindungan diri dari rasa tidak aman.
Budaya juga turut memengaruhi bagaimana sensitivitas diterima. Dalam masyarakat yang menilai ketegasan tinggi, orang sensitif sering dianggap lemah atau terlalu emosional.
Sebaliknya, di budaya yang menjunjung empati dan keharmonisan seperti Asia, kepekaan justru dianggap kekuatan untuk memahami orang lain dengan lebih mendalam.
Sensitivitas bukan cacat karakter, melainkan variasi alami dalam spektrum kepribadian manusia yang memberi warna pada cara berpikir, merasakan, dan berempati.
Dengan memahami akar biologis dan psikologisnya, kita bisa mengelola sensitivitas secara sehat, menjadikannya kekuatan untuk berkontribusi lebih besar di lingkungan sosial maupun profesional.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar