Sudah puluhan tahun, wartawan dan dosen hidup dengan keyakinan bahwa asal mencantumkan sumber, mengutip karya jurnalistik sah tanpa harus membayar royalti.
Namun, wacana revisi Undang-Undang Hak Cipta yang kini digodok Kementerian Hukum RI mengubah pandangan lama itu: mengutip bisa berarti wajib membayar royalti.
Revisi ini memuat gagasan penting bahwa karya jurnalistik adalah ciptaan intelektual bernilai ekonomi — dari berita, foto, hingga laporan investigatif dan video liputan.
“Ini bentuk penghargaan terhadap jurnalis yang karyanya digunakan pihak lain, terutama karya eksklusif dan investigatif,” ujar Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas.
Selama ini, Pasal 14 UU Hak Cipta memberi ruang pengambilan berita aktual asal sumber disebut lengkap. Namun, dunia digital membuat aturan itu mulai usang.
Model bisnis media kini berbasis algoritma dan klik, membuat karya jurnalis sering dikutip, disalin, bahkan dipotong tanpa kompensasi ekonomi bagi media asal.
Data *Reuters Institute Digital News Report 2024* mencatat 57 persen pembaca di Indonesia mendapat berita dari agregator, bukan dari situs media asalnya.
Akibatnya, media kehilangan potensi ekonomi besar. Dalam lima tahun terakhir, pendapatan media daring turun hingga 30 persen akibat praktik pengutipan bebas.
Di tengah situasi ini, ide royalti menjadi masuk akal — bahkan mendesak, untuk melindungi nilai intelektual dan keberlanjutan ekonomi jurnalisme nasional.
“Kalau kita ambil foto media luar negeri tanpa izin, langsung ditagih dalam dolar,” ujar dosen jurnalistik di Yogyakarta mengingatkan mahasiswanya.
Meski demikian, penerapan royalti bukan perkara mudah karena UU Pers saat ini hanya mensyaratkan penyebutan sumber, bukan pembayaran hak ekonomi.
Dewan Pers dan LBH Pers menegaskan perlunya keterlibatan publik agar revisi UU tidak mengancam kebebasan pers maupun hak publik atas informasi.
Royalti karya jurnalistik bukan untuk membatasi akses, tetapi mengembalikan keseimbangan antara etika, ekonomi, dan penghargaan terhadap profesi jurnalis.
Jika dirancang transparan dan partisipatif, Indonesia akan memasuki era baru: menghargai berita bukan sekadar sebagai informasi, tapi sebagai karya bernilai tinggi.
Mengutip kini bukan hanya soal etika, tetapi tentang keadilan bagi mereka yang menulis kebenaran dengan dedikasi, keberanian, dan waktu yang tak ternilai.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar