Banyak orang mengira kemarahan selalu ditunjukkan dengan teriakan atau bentakan. Padahal, titik tertinggi marah justru terlihat dari keputusan memilih menjauh.
Menjauhi bukan tanda lemah, melainkan bentuk kesadaran. Memaksa orang lain berubah sering kali menguras energi dan merusak diri, sehingga berhenti berinteraksi jadi pilihan bijak.
Setiap orang memang memiliki cara berbeda dalam meluapkan emosi. Namun, marah berkepanjangan hanya menambah luka ketika sudah terlalu sering dikecewakan tanpa perubahan nyata.
Berulang kali memberi kesempatan, menasihati, bahkan menolong, terkadang tetap berakhir sama. Kesalahan diulang, janji dilanggar, dan akhirnya kesabaran terasa semakin terkikis.
Dalam kondisi seperti itu, pergi bisa menjadi jalan pembelajaran. Kepergian memberi pesan tegas: jangan sia-siakan orang yang tulus mendampingi dan berjuang bersama.
Penting untuk sadar bahwa tidak semua orang pantas diperjuangkan. Mengutamakan diri sendiri bukan egois, melainkan langkah sehat menjaga kewarasan dan mencintai diri.
Melepaskan justru bisa menjadi keputusan paling tepat. Memaksa orang berubah hanya akan membawa energi negatif. Menjaga jarak adalah bentuk perlindungan diri yang wajar.
Kepergian tak selalu berarti selamanya. Kadang menjauh justru membuat seseorang mengerti betapa berharganya orang yang dulu rela berkorban demi dirinya.
Pelajaran hidup sering kali datang lewat kehilangan. Dengan pergi, seseorang bisa menyadari arti kesetiaan, cinta, dan ketulusan yang sebelumnya dianggap biasa saja.
Memilih berhenti memang sulit. Namun keputusan itu justru menunjukkan keberanian, kedewasaan, dan hak penuh untuk mendapatkan ketenangan batin setelah perjalanan panjang penuh luka.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar