Di tengah nama Purbaya yang ramai dibicarakan publik, muncul cerita menarik tentang sosok istrinya yang tenang, lembut, dan jauh dari sorotan.
Istri Purbaya, Ida Yulidina, disebut sebagai sosok langka di dunia pejabat. la tenang, anti sensasi, dan nyaris tidak pernah tampil di publik.
Meski Purbaya dikenal lugas dan tanpa filter, Ida justru hadir sebagai penyeimbang. Mantan model dan pemenang Wajah Femina itu kini lebih sering di dapur dibanding panggung.
Mereka bertemu bukan di panggung politik, melainkan dalam pertemuan sederhana usai Purbaya kembali dari Purdue University. Makan malam singkat itu berubah jadi percikan masa depan.
Orang-orang dekat menggambarkan Purbaya sebagai "koboi rasional," sedangkan Ida adalah "penjaga kehangatan." Jika Purbaya otak, maka Ida adalah nadinya.
Meski pernah hidup glamor, Ida memilih meninggalkan sorotan dan fokus keluarga. la terlibat sebagai relawan sosial, mengurus anak-anak korban gizi buruk tanpa kamera mengikuti.
Ketika ditanya kenapa tidak ikut arisan pejabat, Ida menjawab datar: "Saya tidak butuh tepuk tangan." Dari dialah sisi manusiawi Purbaya tumbuh.
Namun ketenangan keluarga itu terguncang saat putra mereka, Yudo Achilles Sadewa, membuat unggahan provokatif. la menyebut Sri Mulyani sebagai agen CIA di media sosial.
Unggahan itu meledak. Publik marah, media ribut, dan pengamat berspekulasi tentang motif tersembunyi. Di tengah badai, banyak yang penasaran bagaimana Ida meredam situasi.
Sumber keluarga menyebut, Ida memilih jalan lembut. "Dia tidak memarahi, hanya mengingatkan," ujar seorang kerabat. "Baginya, bicara pelan sering lebih keras dari teriakan."
Purbaya memang keras dalam keputusan, tapi Ida mampu meredam dengan sabar. Banyak orang percaya, tanpa Ida, sikap Purbaya akan jauh lebih tegas dan dingin.
Kisah ini mengingatkan bahwa di balik pejabat penuh kontroversi, sering ada sosok yang tetap memilih senyap. Ida mungkin jarang terlihat, tapi pengaruhnya nyata.
Terkadang pahlawan dalam keluarga bukan yang bicara keras, tetapi yang menjaga kehangatan ketika badai politik dan opini publik mengguncang rumah.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto










Tidak ada komentar:
Posting Komentar