Bareskrim Polri mengungkap keterlibatan 332 anak dalam kerusuhan demonstrasi Agustus lalu. Mayoritas masih pelajar dan terprovokasi tanpa memahami konsekuensi hukum. Bareskrim Polri memastikan penanganan kasus anak dilakukan secara humanis dan berorientasi masa depan. 
Hal itu disampaikan Wakabareskrim Polri Irjen Nunung Syaifuddin dalam sambutannya pada kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Sinergi Antar Lembaga untuk Terlindunginya Hak-hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum” di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
Dalam forum tersebut, Irjen Nunung memaparkan fakta mengejutkan bahwa lebih dari sembilan puluh persen pelaku masih berstatus pelajar. Mereka menyeret diri dalam kerusuhan bukan karena niat kriminal, tetapi ikut-ikutan dan termobilisasi tanpa memahami risiko hukum.
la menegaskan bahwa gelombang partisipasi anak dalam aksi kekerasan menandai lemahnya literasi digital, minimnya informasi, dan kuatnya provokasi di media sosial. Karena itu, penegakan hukum tidak cukup dilakukan dengan pendekatan represif.
Data menunjukkan Polda Jawa Timur menyumbang kasus terbanyak dengan seratus empat puluh empat anak, disusul Jawa Tengah tujuh puluh tujuh anak, dan Polda Metro Jaya tiga puluh enam anak. Kasus lainnya tersebar di berbagai wilayah Nusantara.
Dari total pelaku, seratus enam puluh anak sudah menjalani diversi, tiga puluh tujuh melalui restorative justice, dua puluh delapan tahap satu, dan tujuh puluh tiga tahap dua. Adapun tiga puluh empat anak sudah dinyatakan P21 atau siap dilimpahkan ke kejaksaan.
Irjen Nunung meminta semua elemen negara menyusun kebijakan terpadu agar anak tidak kehilangan masa depan. "Rumusan SOP, koordinasi lembaga, dan implementasi restorative justice harus diperkuat agar anak tidak menjadi korban sistem," ujarnya.
la juga menekankan strategi pencegahan melalui edukasi keluarga, literasi digital, dan penguatan peran sekolah. "Kita harus mencegah, bukan hanya menghukum," tegasnya dengan nada tegas.
Menurutnya, keluarga, sekolah, dan aparat perlu bersinergi membangun ruang aman bagi anak agar tidak mudah terprovokasi. Pendidikan karakter dan pengawasan media digital tidak boleh ditinggalkan.
Melalui pendekatan keadilan restoratif, anak-anak korban situasi sosial harus kembali bersekolah, mendapat pendampingan psikologis, dan diarahkan pada kegiatan positif. Negara, katanya, wajib hadir sebagai pelindung.
FGD ini diharapkan menjadi momentum lahirnya kebijakan nasional yang melindungi hak anak, memulihkan trauma, dan memastikan masa depan mereka tetap layak.
Perlindungan anak bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi amanah moral bangsa agar generasi muda tumbuh sebagai manusia bermartabat, tidak terseret kekerasan.
Penulis: Lakalim Adalin 
Editor: Arianto 










Tidak ada komentar:
Posting Komentar