Konferensi Iklim Global CoP-30 di Belem, Brazil, Senin (10/11/2025), dinilai minim transparansi dan gagal menghadirkan keadilan iklim bagi masyarakat terdampak.
Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim menilai COP-30 sekadar panggung diplomasi tanpa proses inklusif dan partisipasi bermakna bagi masyarakat pesisir, nelayan, hingga masyarakat adat.
CoP-30 diklaim sebagai "COP-nya Hutan", namun deforestasi terus meningkat akibat pembangunan ekstraktif. Papua menjadi bukti nyata kegagalan perlindungan ekologis dan keadilan lingkungan.
Direktur Eksekutif WALHI Papua, Maikel Peuki, menyebut sekurangnya 1,3 juta hektar hutan hilang akibat sawit dan tambang antara 2001-2019. PSN Merauke turut merusak hutan primer.
Menurut Maikel, deforestasi menyebabkan hilangnya ruang hidup masyarakat adat dan mengancam ketahanan pangan. Pembangunan tanpa kontrol mempercepat krisis ekologis dan sosial di Papua.
Pendanaan iklim menjadi agenda utama CoP-30. Namun kerangka mobilisasi dana dinilai tidak adil, rawan proyek sesat, serta gagal melindungi wilayah terdampak kehilangan dan kerusakan.
Pulau Pari kehilangan 11% wilayah akibat banjir rob dan cuaca ekstrem. Reklamasi memperburuk kondisi pesisir, merusak ekosistem laut, dan memiskinkan nelayan setempat.
Asmania, perempuan Pulau Pari, menyatakan krisis membuat rumput laut gagal panen dan pulau terancam tenggelam pada 2050. la mendesak pencabutan izin reklamasi dan evaluasi UU bermasalah.
Di Bangka Belitung, WALHI mencatat deforestasi 460.000 hektar dalam enam tahun, menyisakan 197.255 hektar hutan. Kerusakan memicu banjir besar, abrasi, dan tenggelamnya anak-anak di kolong.
Direktur WALHI Babel, Subhan Hafidz, meminta negara menghentikan solusi palsu seperti co-firing PLTU, HTE, dan rencana PLTN karena menambah beban ekologis tanpa keadilan iklim.
Kaum disabilitas juga terpinggirkan. Maria Un menyebut proses CoP-30 tidak aksesibel, minim bahasa isyarat, tanpa dokumen braille, bahkan evakuasi bencana tidak ramah disabilitas.
Maria meminta pengakuan disabilitas sebagai subjek utama negosiasi adaptasi, mitigasi, pendanaan, serta loss and damage, bukan hanya simbol representasi semu di forum internasional.
Nelayan Ternate, Gofur Kaboli, menuntut regulasi global untuk melindungi nelayan kecil dari cuaca ekstrem dan perubahan iklim, termasuk respons cepat pemerintah dalam keadaan darurat.
Dialog Publik "Suara Rakyat Indonesia untuk CoP" merupakan tindak lanjut mandat Indonesia Climate Justice Summit yang menghasilkan Deklarasi Rakyat untuk Keadilan Iklim bagi CoP-30.
CoP-30 menjadi cermin bahwa perjuangan keadilan iklim belum selesai. Harapan masyarakat sederhana: keputusan berpihak pada bumi, bukan korporasi, serta melindungi kelompok paling rentan.
Semua suara rakyat menegaskan satu pesan: dunia butuh CoP-30 yang adil, transparan, dan benar-benar melindungi manusia serta bumi dari krisis iklim.
Reporter: Lakalim Adalin
Editor: Arianto










Tidak ada komentar:
Posting Komentar