Psikolog mengingatkan bahaya self-bullying, bentuk kekerasan emosional ketika seseorang menyakiti diri lewat pikiran negatif, tuntutan perfeksionis, dan kritik tanpa belas kasih.
Fenomena self-bullying semakin sering muncul di tengah tekanan hidup modern. Banyak orang tidak sadar sedang menjadi pelaku kekerasan emosional terhadap dirinya sendiri.
Kasus ini terjadi saat seseorang menilai diri terlalu keras, menolak kesempatan istirahat, dan menuntut kesempurnaan seolah tanpa cela. Psikolog menyebutnya luka yang tidak terlihat.
Para ahli menjelaskan, self-bullying muncul dari cemoohan internal, suara batin yang menyakitkan, serta pikiran penuh kritik yang dianggap realitas, padahal tidak selalu benar.
Di media sosial, banyak korban mengaku merasa tidak cukup baik, selalu gagal, dan tidak layak dicintai. Pola ini memicu depresi, kecemasan, hingga krisis harga diri.
Tanda pertama self-bullying adalah terlalu keras menilai kesalahan kecil sebagai bukti kegagalan besar. Setiap kekeliruan terasa seperti hukuman permanen.
Tanda kedua, seseorang memaksa diri sempurna. Mereka menolak lelah dan terus bekerja karena merasa nilai dirinya hanya ada saat berprestasi.
Ketiga, korban menolak pujian tetapi menerima kritik tanpa perlawanan. Pujian dianggap kebohongan, sementara kritik diperlakukan sebagai kebenaran mutlak.
Keempat, mereka terus memutar ulang luka lama. Kesalahan masa lalu dipakai sebagai alasan menghukum diri, bukan bahan untuk belajar dan tumbuh.
Kelima, korban merasa tidak layak dicintai. Padahal cinta dan penerimaan sejati tidak pernah mewajibkan prestasi, standar tinggi, atau pencapaian besar.
Psikolog menegaskan, self-bullying berbahaya karena lahir dari dalam diri, lebih sulit dihentikan daripada kekerasan dari orang lain atau lingkungan sosial.
Rehabilitasi emosional bisa dimulai dengan menerima kelemahan, berbicara lembut pada diri, memberi ruang gagal, dan menyadari manusia tidak harus sempurna.
Dukungan keluarga, teman, dan konseling profesional membantu korban memulihkan kepercayaan diri, meredakan stres, dan membangun pola pikir lebih sehat.
Banyak testimoni menyebut kebahagiaan datang saat seseorang berhenti menghukum diri, menerima kekurangan, dan mengizinkan dirinya rehat tanpa rasa bersalah.
Psikolog mengajak masyarakat lebih peka. Jika pikiran terasa kejam, itu bukan realitas. Itu hanya suara luka, bukan kebenaran tentang diri.
Self-bullying dapat dihentikan perlahan, dimulai dari satu kalimat lembut untuk diri sendiri: kamu layak dicintai, bahkan ketika tidak sempurna.
Jika suara batin terasa lebih menyakitkan daripada dunia luar, mungkin saatnya berhenti berperang dengan diri sendiri dan mulai memeluknya pelan-pelan.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto










Tidak ada komentar:
Posting Komentar