Kasus pencucian uang Rafael Alun kembali mencuat, setelah KPK dan PPATK menemukan jejak perputaran dana Rp94,6 miliar yang disembunyikan melalui aset kripto digital.
Investigasi menyebut mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak itu diduga mengatur transaksi sejak 2003 hingga 2023, dengan pola penyamaran yang kompleks dan berlapis.
Modus utama dilakukan melalui pembelian bitcoin, sehingga aliran dana sulit ditelusuri karena sistem desentralisasi dan celah regulasi pada pasar cryptocurrency global.
Sebagai pejabat senior Kementerian Keuangan, Rafael memahami seluk-beluk perpajakan sehingga mampu memindahkan dana tanpa mudah terdeteksi sistem pengawasan keuangan formal.
KPK menegaskan beberapa transaksi melibatkan e-wallet pribadi, menunjukkan upaya memindahkan aset ke platform digital agar tidak terhubung dengan rekening perbankan nasional.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan, timnya memantau e-wallet Rafael dan menemukan pola pembelian mata uang digital dalam jumlah besar selama penyelidikan berlangsung.
la memastikan penelusuran cryptocurrency menjadi fokus pengawasan PPATK, bahkan lembaganya pernah membekukan e-wallet milik tersangka Tindak Pidana Pencucian Uang.
"E-wallet sudah terpantau sebagai sarana TPPU. PPATK pernah membekukan beberapa e-wallet dalam kasus sebelumnya," ujar Ivan, Jumat (12/5/2023).
Dalam skema pencucian uang modern, bitcoin kerap digunakan karena sulit dilacak, memiliki anonimitas tinggi, serta mampu menembus batas yurisdiksi antarnegara dengan cepat.
Masyarakat terkejut karena Rafael selama ini dipercaya mengawasi kepatuhan pajak, namun justru mengecewakan kepercayaan publik dengan memanfaatkan celah digital untuk memperkaya diri.
Kasus ini menjadi alarm keras agar pengawasan aset digital diperketat, demi mencegah teknologi finansial dimanfaatkan untuk merugikan negara serta melemahkan integritas sistem pajak.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto










Tidak ada komentar:
Posting Komentar