Peristiwa pembegalan yang menimpa Repan, warga Baduy di kawasan Cempaka Putih, Jakarta, berubah menjadi polemik besar setelah rumah sakit menolak memberikan pertolongan gawat darurat.
Kasus ini menyita perhatian luas masyarakat karena Repan tidak hanya kehilangan uang, tetapi juga mengalami luka sayatan akibat serangan para pelaku begal bersenjata.
Masalah semakin memanas ketika rumah sakit yang pertama kali didatangi korban justru menolak memberi penanganan medis hanya karena tidak memiliki identitas resmi.
Padahal kondisi Repan sangat memerlukan pertolongan darurat, sementara Undang-Undang menjamin setiap orang berhak mendapat layanan kesehatan tanpa diskriminasi administratif.
Warga menilai tindakan tersebut melukai rasa kemanusiaan. Publik menuntut rumah sakit bertanggung jawab dan menjunjung etika pelayanan gawat darurat yang manusiawi.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menegaskan bahwa penolakan tersebut bukan kebijakan resmi pemerintah daerah, melainkan tindakan sepihak dari fasilitas kesehatan terkait.
Pemprov DKI menjelaskan bahwa setiap rumah sakit wajib memberikan layanan darurat kepada siapa pun, termasuk pendatang dan warga tanpa dokumen identitas lengkap.
Kasus Repan menjadi pengingat penting bahwa sistem kesehatan tidak boleh berhenti pada prosedur administrasi, karena nyawa manusia jauh lebih berharga dari selembar kartu.
Setelah kejadian itu, Repan akhirnya mendapatkan perawatan di rumah sakit lain. la menerima penanganan medis dan luka sayatannya berhasil ditangani oleh dokter.
Rekan yang menolongnya menyebut Repan sempat berjalan tertatih sambil menahan sakit hanya untuk mencari tempat yang bersedia memberikan pertolongan.
"Kami hanya ingin keadilan. Rumah sakit seharusnya menolong siapa saja dalam kondisi darurat," ujar salah seorang pendamping Repan dengan suara bergetar.
Warga berharap kejadian seperti ini tidak terulang. Mereka menilai pelayanan kesehatan seharusnya mengutamakan kemanusiaan, bukan sekadar aturan administratif.
Repan kini dalam masa pemulihan. Namun, luka sosial yang dirasakan masyarakat jauh lebih besar dari luka fisik yang menimpa korban pembegalan tersebut.
Kasus ini membuka mata bahwa kemajuan pelayanan kesehatan tidak boleh menghilangkan empati. Dokter dan perawat harus menjadi garda terdepan kemanusiaan.
Peristiwa yang menimpa Repan menjadi pelajaran moral bagi fasilitas kesehatan lain agar tidak mengabaikan pasien gawat darurat demi alasan administratif.
Kejadian itu diharapkan mendorong perubahan regulasi yang lebih ketat, sehingga tidak ada lagi korban yang ditolak ketika membutuhkan pertolongan medis.
Pada akhirnya, tragedi ini mengingatkan publik bahwa pelayanan kesehatan adalah hak dasar setiap manusia, bukan hak yang bergantung pada identitas atau status sosial.
Semua pihak berharap kasus Repan menjadi momentum perbaikan besar, agar rasa kemanusiaan tetap menjadi pondasi utama pelayanan kesehatan di Jakarta.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto










Tidak ada komentar:
Posting Komentar