Direktorat Jenderal Pajak menegaskan pengawasan penghasilan wajib pajak semakin ketat. Melalui integrasi data nasional, DJP mampu memantau transaksi, aset, hingga rekening di luar negeri.
Kantor Pajak mendapatkan laporan transaksi dari bank, e-wallet, payment gateway, dan marketplace. Aliran dana besar dianalisis otomatis untuk mencocokkan nilai penghasilan dengan laporan SPT tahunan.
Jika ditemukan perbedaan mencolok, DJP dapat melakukan analisis mendalam terhadap profil wajib pajak. Proses ini termasuk klarifikasi, permintaan dokumen, sampai pemeriksaan lanjutan.
Sumber data DJP kini berasal dari pihak ketiga seperti Bank Indonesia, OJK, instansi daerah, dan lembaga internasional. Pertukaran data global membuat celah manipulasi semakin kecil.
Melalui sistem AEol, negara lain mengirimkan informasi rekening warga negara Indonesia. Menyimpan dana di luar negeri untuk menghindari pajak bukan lagi strategi aman.
Kantor Pajak juga menerima laporan dari masyarakat, vendor, pelanggan, dan mitra bisnis. Aktivitas usaha di media sosial dapat dianalisis apabila tidak sejalan dengan kewajiban perpajakan.
Integrasi NIK dan NPWP memudahkan pencocokan identitas dengan data transaksi bisnis, keuangan, dan kependudukan. Satu identitas nasional membuat pelacakan aset lebih sederhana.
Setiap kepemilikan tanah, kendaraan, atau properti tercatat di berbagai lembaga. DJP dapat membandingkan total aset dengan penghasilan yang dilaporkan, lalu melakukan audit bila janggal.
"Transparansi data membuat sistem perpajakan lebih adil dan modern," ujar seorang pejabat DJP. Ia menekankan pentingnya pelaporan jujur untuk menghindari sanksi dan pemeriksaan.
Artinya, menyembunyikan penghasilan kini hampir mustahil. Kepatuhan menjadi pilihan paling aman agar wajib pajak terhindar dari denda, bunga, dan konsekuensi hukum.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto










Tidak ada komentar:
Posting Komentar