Masyarakat Adat menilai komitmen pemerintah mempercepat pengakuan hutan adat masih lemah. Kritik ini muncul pasca pernyataan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni di COP 30 Brasil.
Dalam diskusi Nexus The Answer is Us pada Rabu (12/11/2025), aktivis Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Yokbeth Felle, menyoroti lambannya pengakuan hutan adat.
Menurutnya, pemerintah belum serius memenuhi, melindungi, dan memajukan hak Masyarakat Adat. la menegaskan, hutan dan tanah bukan sekadar objek, tapi sumber kehidupan dan identitas.
Yokbeth mencontohkan perempuan adat Suku Yei di Merauke, Papua Selatan, yang menggantungkan hidup pada pohon nibung untuk menampung air pati sagu bagi keluarga.
Pohon nibung juga memiliki fungsi ekologis penting, seperti menahan abrasi, menyerap karbon, dan menjadi habitat alami berbagai satwa di kawasan hutan adat.
Data Yayasan Pusaka mencatat, selama satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran belum ada penetapan hutan adat di Papua. Capaian hingga 2025 baru 39.912 hektare.
Sebaliknya, pemerintah justru mempercepat izin proyek ekstraktif di Papua Selatan mencapai 587.750 hektare, jauh melampaui luas hutan adat yang diakui negara.
Erasmus Cahyadi dari AMAN menyebut, Masyarakat Adat telah lama menjaga hutan secara lestari. Mereka bukan masalah, melainkan solusi bagi krisis iklim global.
Sementara itu, Julmansyah dari Kementerian Kehutanan menyatakan, percepatan penetapan hutan adat akan dilakukan melalui Satgas khusus dan roadmap nasional hingga 2029.
la menargetkan penetapan 1,4 juta hektare hutan adat berbasis masyarakat, dengan dukungan organisasi sipil, akademisi, dan mitra internasional secara kolaboratif.
Suara Masyarakat Adat menjadi pengingat bahwa perlindungan hutan bukan sekadar janji politik, tetapi cermin komitmen negara menjaga bumi dan martabat manusia.
Penulis: Lakalim Adalin
Editor: Arianto










Tidak ada komentar:
Posting Komentar